Penjual tebu itu beruntung. Awalnya, ia dihampiri content creator yang membuat video sedekah dengan cara menawar dagangannya jauh lebih mahal. Segelas es tebu seharga lima ribu rupiah ditawar puluhan kali lipat hingga berakhir dengan pembayaran sebesar Rp 500.000.

Dengan suara serak menahan haru wanita yang kelihatannya masih muda tersebut berterima kasih sembari menerima uang yang cukup besar baginya. Kru pembuat konten meninggalkannya ketika ia bersimpuh menangis di balik gerobak dagangan dengan penuh syukur.

Kemudian video tadi membuat terenyuh setiap mata yang melihat. Tergerak pula ingin membantu, warganet menggalang donasi untuk orang tadi hingga terkumpul sejumlah Rp 155.125.500. Nominal itu kemudian dibelikan rumah.

Si penjual tebu sujud syukur begitu lama di depan rumah baru yang dihadiahkan masyarakat Indonesia untuknya. Itulah karunia Allah yang dianugerahkan kepada siapa yang dikehendaki. Ia tidak pernah meminta sumbangan dari masyarakat. Bahkan sempat menolak.

Peristiwa itu mencerminkan potret kedermawanan yang luar biasa dimiliki oleh rakyat negeri ini. Cara-cara bersedekah semakin kreatif. Lembaga philanthropy berjamuran.

Sampai-sampai Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2021 menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan sedunia.

Namun hal yang miris ketika ada sindiran kepada pemerintah dengan kalimat, "Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh kitabisa (platform galang dana, biasanya untuk keperluan donasi)."

Kalimat "memajukan kesejahteraan umum" ada di pembukaan UUD 45 menjadi tujuan negara ini didirikan. Juga Pasal 34 ayat 1 UUD 45 menyuratkan amanat negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Bukan pada lembaga kemanusiaan dan platform galang dana.

Kenyataannya mencuat kasus korupsi dana bantuan sosial yang oleh Novel Baswedan ditaksir mencapai 100 triliun rupiah. Juga kasus korupsi lain yang begitu banyak untuk disebutkan. Alih-alih menyejahterakan rakyat, malah para pejabat memperkaya diri sendiri.

Sementara itu nenek pencuri kayu dihukum 1 tahun 3 bulan penjara. Begitu juga nenek pencuri tiga buah kakao. Dan banyak kasus serupa. Padahal mereka harusnya tak perlu mencuri kalau berhasil disejahterakan negara.

Perkataan hikmah Hasan Al Bahsri: "kama takunu yuwalla 'alaikum" (sebagaimana keadaan kalian, demikian pula pemimpin kalian) tidak berlaku di negeri ini. Rakyatnya dermawan, tapi mendapat para pemimpin yang rakus.

Pemerintah sih punya sisi dermawannya, tapi kepada para relawan politik dengan berbagi jabatan komisaris. Oh ya, jangan singgung tentang bingkisan yang dilempar-lempar ke jalan. Yang diperlukan negara ini adalah kinerja sistematis yang mengangkat derajat hidup, yang memberi pengaruh ke seluruh lapisan masyarakat. Bukan kedermawanan tumben-tumbenan dalam liputan media.

Apa yang salah?

Saya khawatir, masyarakat yang dermawan ini ketika diajak berpartisipasi dalam kontestasi demokrasi yang mengutamakan suara terbanyak, kalah jumlah oleh orang-orang rakus dan pendukungnya. Kalah oleh kekuatan money politics.

Ataukah berlaku ucapan Mahfud MD: Malaikat yang masuk sistem bisa berubah menjadi setan? Jadi, orang-orang yang penyantun itu tiba-tiba menjadi maruk ketika mendapat kuasa.

Ataukah sebagian masyarakat kita memang punya dua sifat yang bertentangan? Pemurah dan sekaligus rakus berhimpun di dalam diri. Kadang ringan untuk berbagi, namun dalam kerjanya tersisip juga perbuatan licik mengambil yang bukan haknya.

Memang membingungkan. Negeri ini mendapat gelar negara paling dermawan. Juga sekaligus terkenal dengan korupsinya. Aneh.

Kalau masih bisa berharap, di pertarungan politik ke depan saya ingin kekuatan orang-orang baik ini bangkit dan mendominasi sehingga menghadirkan pemimpin yang sesuai dengan sikap positif masyarakat Indonesia.

Namun ada hal yang membuat khawatir. Bila ada kekuatan yang membangun opini menyesatkan, tentang orang jahat dan lemah dicitrakan sebagai orang baik sehingga para dermawan terkecoh memilih tokoh itu. Saya sih sudah melihat kejadian ini.

Hmm... Kapan ya negara ini dipimpin oleh orang yang benar? Stoknya ada kok, tapi sekarang kalah oleh oligarki.
 
(https://blog.pks.id/2021/08/paradoksal-indonesia-negeri-yang.html)


Zico Alviandri

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama